Suatu malam, di sebuah apartemen kecil di Hong Kong, terdengar bahasa Indonesia, bahasa Jawa, dan bahasa Kanton (Cina) bercampur-aduk riuh. Di dalamnya, Ida Indriarti (53) dan suami, serta beberapa orang wanita dan anak-anak tampak tengah asyik bercakap dan bercanda-ria di tengah musim panas yang gerah bulan Juli lalu. 
Para wanita di apartemen Ida malam itu adalah para TKW (Tenaga Kerja Wanita) di Hong Kong yang sedang mampir dan membawa serta anak-anak majikannya. Ida sendiri adalah mantan anggota staf non diplomatik Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) masa periode 2001-2004 di Hong Kong. Semasa berdinas di sana, ia adalah orang KJRI paling dikenal di kalangan TKW. Ke mana pun ia pergi selalu saja ada TKW yang menyapanya. Bahkan, “Hampir tiap malam, terutama hari Minggu, mereka selalu mampir ke apartemen saya,” kata Ida.
Masa-masa selama berdinas di Hong Kong itu merupakan pengalaman tak terlupakan baginya. Sebelumnya, ia berkantor di Pusat Pendidikan dan Latihan Departemen Luar Negeri (Pusdiklat Deplu). Mulai Juli 2001, ia bertugas di Bidang Penerangan KJRI sebagai Pembina Masyarakat Indonesia di sana. Pekerjaannya yang baru ini membuatnya harus sering turun ke lapangan dan bertemu dengan para TKW.
Di negara bekas koloni Kerajaan Inggris ini ada sekitar 91.000 TKW yang mencari nafkah sebagai Pembantu Rumah Tangga (PRT). Dibandingkan dengan negara-negara Timur Tengah, Malaysia, dan Singapura, Hong Kong mempunyai regulasi yang relatif lebih baik dalam soal ketenagakerjaan.
Di sana juga berlaku peraturan libur sehari dalam seminggu bagi para domestic helper (sebutan bagi PRT di Hong Kong) ini. Kebanyakan mereka memilih hari Minggu sebagai hari liburnya, sehingga atmosfer Indonesia akan sangat terasa di hari itu. Kawasan Victoria Park dan Causeway Bay menjadi ramai oleh ribuan TKW Indonesia yang nongkrong di sana, meski tak semuanya demikian. “Banyak yang berbisnis kecil-kecilan di antara sesama TKW tanpa menyalahi peraturan Pemerintah Hong Kong, dan hasilnya kalau dirupiahkan lumayan banyak untuk dikirim ke keluarga mereka di Indonesia,” tutur Ida. Kegiatan lain para TKW itu adalah mengikuti kursus-kursus bahasa Inggris, komputer, menjahit, dan sebagainya.
Beberapa organisasi TKW di Hong Kong seperti Majelis Ta’lim, Yogya International Club, dan Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) bahkan sudah melangkah lebih maju dengan mendirikan berbagai macam usaha di Indonesia, seperti ternak sapi, katering, agrobisnis, jual-beli mobil second hand, dan banyak lagi. Ini belum termasuk mereka yang berwirausaha secara individu sepulangnya ke Tanah Air. “Saya sering mengingatkan mereka, lebih baik jadi bos kecil di negeri sendiri daripada jadi kuli di negeri orang,” tutur Ida. Maksudnya, agar setelah mengumpulkan cukup uang mereka cepat kembali ke Tanah Air dan membuka usaha sendiri.
Walaupun hukum ketenagakerjaan di Hong Kong termasuk kuat, bukan berarti para TKW di sana tak punya masalah sama sekali. Sejak bergaul dengan para TKW, Ida memerhatikan bahwa selama ini permasalahan mereka kurang disikapi secara lebih personal dan jauh dari jangkauan KJRI. “Masalah-masalah yang bersifat kedinasan, misalnya kontrak kerja perlakuan majikan dan underpaid, biasanya diselesaikan lewat LSM dengan bantuan pengacara atau diselesaikan secara formal kedinasan oleh KJRI,” terang wanita kelahiran 31 Agustus 1951 ini.
Dari sinilah Ida memutuskan terjun ke dalam keseharian para TKW, mendengarkan keluh-kesah mereka, melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan mereka di luar pekerjaan mereka sebagai PRT. Dari cerita-cerita mereka, Ida melihat banyak fenomena TKW yang suaminya berselingkuh atau berfoya-foya menghabiskan kiriman uang dari mereka, bahkan sampai kasus segelintir TKW yang keluarganya berantakan gara-gara mereka jadi lesbian. “Ini karena mereka terlalu lama jauh dari suami, tak ada bimbingan, rangkulan kasih sayang, dan tak punya pegangan hidup yang kuat,” jelas Ida. Belum lagi fenomena mereka yang berpacaran dengan pria-pria tenaga kerja Pakistan, yang terkadang berakhir dengan hamil di luar nikah. Ida dan suami terkadang harus berkorban secara finansial demi menolong mereka.
Ida merangkul kawan-kawan dari Islamic Union, Christian Assembly, dan psikolog-psikolog untuk membantunya mengatasi hal ini, baik secara personal maupun lewat media lain seperti lewat Nongkrong Bareng, sebuah acara radio yang dikhususkan bagi para TKW Indonesia. Ia juga tak segan membuka pintu rumahnya lebar-lebar bagi mereka yang ingin bertemu langsung dengannya. Telepon selulernya pun tak henti berdering hingga larut malam. “Mereka butuh tempat curhat, sementara waktu senggang mereka kalau tidak sedang libur hanya malam hari,” cerita Ida.
Hari Minggu pun tak pernah sepi di apartemen Ida. Selalu saja ada TKW yang mampir, dan mereka ini jarang datang dengan tangan kosong alias selalu membawa oleh-oleh. Apartemen Ida seakan menjadi “base camp” para TKW ini, di mana mereka bisa mengobrol, memasak bersama, dan bernyanyi karaoke. Berbagai bentuk kedekatannya dengan para TKW membuat Ida dipanggil “mama” oleh sebagian mereka yang menganggap Ida sudah seperti ibunya sendiri. Oleh Ida pun, mereka sudah dianggap sahabat dan bahkan seperti anak sendiri.
Pernah ada seorang TKW yang sering menelepon Ida tengah malam. Ternyata ia mengidap kanker dan sejak keberangkatannya ke Hong Kong sengaja menyembunyikan hal itu agar bisa mencari nafkah. Hampir setiap rasa sakit akibat kanker itu kambuh, ia selalu menelpon Ida. “Saya menemaninya berjam-jam hingga rasa sakitnya hilang,” cerita Ida. Pernah juga ia membolos dari kantor demi mencegah seorang TKW yang sudah berniat bunuh diri karena tak kuat menanggung beban masalah pribadinya.
Ida mengaku sering membandingkan para TKW itu dengan dirinya waktu masih seusia mereka. Pada umur yang masih relatif muda, dengan pendidikan yang minim, mereka sudah harus pergi jauh ke negeri lain dan berpisah dengan keluarganya demi mencari nafkah. “Kalau ingat hal itu, saya merasa termasuk beruntung walaupun saya bukan dari keluarga kaya,” kata wanita kelahiran Yogyakarta ini.
Menjelang rampungnya masa dinas tiga tahun Ida di Hong Kong pada 31 Juli lalu, para TKW itu mengadakan acara pesta perpisahan untuknya. Lebih dari 600 orang TKW hadir dan adegan tangis-tangisan pun tak terhindarkan. “Tak pernah ada sebelumnya orang pemerintah yang begitu memedulikan kami seperti anak sendiri,” kata mereka sambil terisak. Ketika berada di bandara, barang-barang yang dibawa Ida sampai overweight dengan oleh-oleh dari para TKW. Dari gosip yang saya dengar di antara para TKW, mereka berencana mengundang Ida ke Hong Kong lagi atas tanggungan mereka suatu hari nanti.
***
Ida melewati masa kecil dan menyelesaikan pendidikan sampai Sarjana Muda di Yogyakarta. Ia dibesarkan dalam keluarga yang majemuk. Ayahnya, pensiunan pegawai Perumka, beragama Islam dan ibunya (almarhum), seorang guru SLTP, beragama Katolik. Ida sendiri beragama Katolik sebelum masuk Islam ketika menikah pada 1978. Ia juga anak pertama dari tujuh bersaudara, sementara dua adiknya yang lain beragama Islam dan sisanya Katolik. Hal ini diakuinya berpengaruh besar terhadap caranya bergaul. “Yang saya lihat dari seseorang adalah pribadi orang itu seutuhnya, bukan yang lain,” ujarnya.
Sejak masih bersekolah di SMPN 1 Yogyakarta, Ida sangat ingin meneruskan kuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI). “Pikir saya waktu itu, lulusan HI pasti berkesempatan dapat tugas ke luar negeri,” kenangnya. Ida mendapat gelar Sarjana Muda dari jurusan HI Universitas Gadjah Mada (UGM) dan menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Nasional Jakarta.
Bekerja di Deplu sejak 1975, Ida nyaris tidak pernah mengikuti pendidikan dinas luar negeri apa pun. “Saya bukan orang yang ngotot mengejar karir. Bagi saya, keluarga tetap nomor satu,” tutur ibu dari seorang putra dan putri ini. Namun ketika anak-anaknya sudah besar, terbersit lagi keinginannya untuk dapat ditempatkan di luar negeri. Kesempatan itu segera datang dan tak disia-siakannya. Ia mengikuti tes dan ditempatkan di Hong Kong mulai Juli 2001, dengan status Staf Teknis Non Diplomatik.
Kesukaannya menyanyi pun tetap ia lakukan selama bertugas di sana. Sejak kecil, Ida memang senang bernyanyi dan bergabung dengan paduan suara di sekolah dan gereja. Di Hong Kong, kesukaannya kepada musik ia lampiaskan dengan mengorganisasi para TKW untuk berlatih angklung bersama. “Mereka pada awalnya tak banyak tahu tentang musik, bahkan buta not balok,” ujar penyuka Nat King Cole ini. Namun jerih payah Ida membangun kelompok musik angklung tak percuma.
Kelompok yang awalnya banyak diragukan orang ini sekarang bahkan sering diundang mengisi acara-acara kesenian multietnis di Hong Kong. Terakhir, bersama beberapa TKW yang berbakat menyanyi, Ida merekam lagu-lagu yang mereka nyanyikan ke dalam CD (compact disc) berjudul Ibu Ida dan Anak-anaknya, dan membagikannya ke teman-teman dan koleganya sendiri. “Semuanya hanya demi hobi menyanyi saya,” kata wanita yang kini berkantor di BPPK (Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan) Deplu ini. Sampai sekarang pun, komunikasi dengan para TKW itu masih berlanjut, baik melalui telepon, SMS maupun e-mail. Ia mengaku akan sangat sedih kalau apa yang sudah ia bentuk bersama “anak-anaknya” mengalami kemunduran atau bahkan hancur.
***
Sekembalinya ke Indonesia, Ida pernah diundang atas nama pribadi oleh Pemda Kabupaten Blitar untuk acara ramah-tamah dan bertukar pengalaman serta informasi soal TKW di Hong Kong. Seusai acara, ia mengunjungi tiga desa di sana, yaitu Desa Kesamben, Jeblog Talun, dan Gedog, yang termasuk daerah asal TKW terbesar di Jawa Timur. Ida melihat sendiri betapa makmurnya desa-desa itu. “Rumah-rumahnya mentereng, tak kalah dengan Pondok Indah. Hampir semua warganya mendirikan usaha sendiri,” ceritanya.
Ida lantas punya pemikiran, seandainya empat juta TKI di luar negeri dirangkul dan diberi bimbingan kewirausahaan, dan sekembalinya ke Tanah Air mereka bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, maka bayangkan hasilnya jika masing-masing merekrut satu tenaga kerja saja. “Di atas kertas, empat juta tenaga kerja bisa terserap,” katanya.
Tentu saja hal itu tak segampang teorinya. Butuh dukungan banyak pihak, termasuk media massa. Ida mengaku agak sebal dengan media massa yang cenderung selalu memberitakan penderitaan TKI saja. “Padahal banyak sisi positif yang bisa dilihat, misalnya kemampuan mereka berwirausaha,” keluhnya. Kalau begitu, ia lantas menilai, percuma saja kita menjuluki mereka pahlawan devisa kalau kita tak pernah memanusiakan orangnya. Akibatnya, mereka kurang dihargai oleh bangsanya sendiri dan bahkan makin ditambah penderitaannya. “Terus terang, saya mulai mengkhawatirkan apakah kepedulian bangsa ini kepada sesamanya masih ada,” ujarnya menutup pembicaraan.[]