Friday, September 19, 2014

Melihat Dimensi Korupsi dan Aspek Politik dalam Kasus Anas Urbaningrum

Jakarta - Kasus Hambalang yang menjerat Anas Urbaningrum, tak terlepas dari gelaran kongres Demokrat 2010 di mana si terdakwa maju sebagai salah satu kandidat ketua umum. Pihak Anas meyakini apa yang didakwakan jaksa adalah kasus yang berbasis pada peristiwa politik. Benarkah?

"Memang ada fenomena korupsi adalah sisi gelap politik. Tapi dalam kasus Anas ini yang perlu dibuktikan jaksa adalah pasal 2 atau pasal 3 Undang-undang Tipikor," ujar peneliti ICW Tama S Langkun dalam acara Polemik bertajuk 'Menanti Vonis Anas' yang diadakan Sindo Trijaya Network di Warung Daun, Jl Cikini Raya, Jakpus, Sabtu (20/9/2014).‎

Tama tak setuju dengan pendapat yang menyatakan kasus korupsi yang menjerat Anas berpijak pada suatu peristiwa politik. Menurut Tama, memungkinkan seorang pejabat negara ‎untuk menggunakan pengaruhnya dalam mendapatkan dana-dana yang didapatkan dengan cara ilegal.

"Kalau mengenai trading influence itu diatur dalam UNCAC," kata Tama.

Jaksa KPK menuntut Anas Urbaningrum dengan tuntutan 15 tahun penjara dan uang pengganti Rp 94 miliar dan USD 5,2 juta karena dianggap terbukti menerima fee penggiringan proyek Hambalang dan juga melakukan pencucian uang. Uang tersebut menurut jaksa, digunakan Anas untuk dana pemenangan pencalonan dalam kongres PD pada 2010.

Jaksa menyatakan dalam kasus Anas ini memang ada keunikan tersendiri. Ada lapisan dan bahasa-bahasa politik yang digunakan terdakwa dalam membangun komunikasi untuk membangun proyek. Untuk mengungkap komunikasi terselubung itu diperlukan pengungkapan langsung dari orang dekat dalam hal ini M Nazaruddin.

Dalam surat tuntutannya, jaksa KPK menyatakan mereka tidak mengadili kongres Demokrat melainkan mengejar aliran uang yang mengarah ke acara tersebut karena diyakini berasal dari uang korupsi Hambalang. Sedangkan Anas dalam pledoinya, balik menyerang tuntutan jaksa dengan menyebut jaksa KPK hanya mengusut 'sepertiga kongres'.

Fadli Nasution, Ketu Perhimpunan Magister Hukum Indonesia, menyatakan kasus Anas ini merupakan kasus korupsi politik. Menurutnya, KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengusut kasus korupsi politik.

"Mengenai perkara korupsi politik ini, KPK jangan mengusut apa yang tidak menjadi kewenangannya. Kalau mau, revisi dulu undang-undang yang ada. Karena undang-undang tidak mengenal analogi dan semuanya harus dalam bentuk tertulis," ujar Fadli yang juga menjadi narasumber dalam diskusi di acara yang sama.

No comments:

Post a Comment