Jakarta - Kasus Hambalang yang menjerat Anas
Urbaningrum, tak terlepas dari gelaran kongres Demokrat 2010 di mana si
terdakwa maju sebagai salah satu kandidat ketua umum. Pihak Anas
meyakini apa yang didakwakan jaksa adalah kasus yang berbasis pada
peristiwa politik. Benarkah?
"Memang ada fenomena korupsi adalah
sisi gelap politik. Tapi dalam kasus Anas ini yang perlu dibuktikan
jaksa adalah pasal 2 atau pasal 3 Undang-undang Tipikor," ujar peneliti
ICW Tama S Langkun dalam acara Polemik bertajuk 'Menanti Vonis Anas'
yang diadakan Sindo Trijaya Network di Warung Daun, Jl Cikini Raya,
Jakpus, Sabtu (20/9/2014).
Tama tak setuju dengan pendapat yang
menyatakan kasus korupsi yang menjerat Anas berpijak pada suatu
peristiwa politik. Menurut Tama, memungkinkan seorang pejabat negara
untuk menggunakan pengaruhnya dalam mendapatkan dana-dana yang
didapatkan dengan cara ilegal.
"Kalau mengenai trading influence itu diatur dalam UNCAC," kata Tama.
Jaksa
KPK menuntut Anas Urbaningrum dengan tuntutan 15 tahun penjara dan uang
pengganti Rp 94 miliar dan USD 5,2 juta karena dianggap terbukti
menerima fee penggiringan proyek Hambalang dan juga melakukan pencucian
uang. Uang tersebut menurut jaksa, digunakan Anas untuk dana pemenangan
pencalonan dalam kongres PD pada 2010.
Jaksa menyatakan dalam
kasus Anas ini memang ada keunikan tersendiri. Ada lapisan dan
bahasa-bahasa politik yang digunakan terdakwa dalam membangun komunikasi
untuk membangun proyek. Untuk mengungkap komunikasi terselubung itu
diperlukan pengungkapan langsung dari orang dekat dalam hal ini M
Nazaruddin.
Dalam surat tuntutannya, jaksa KPK menyatakan mereka
tidak mengadili kongres Demokrat melainkan mengejar aliran uang yang
mengarah ke acara tersebut karena diyakini berasal dari uang korupsi
Hambalang. Sedangkan Anas dalam pledoinya, balik menyerang tuntutan
jaksa dengan menyebut jaksa KPK hanya mengusut 'sepertiga kongres'.
Fadli
Nasution, Ketu Perhimpunan Magister Hukum Indonesia, menyatakan kasus
Anas ini merupakan kasus korupsi politik. Menurutnya, KPK tidak memiliki
kewenangan untuk mengusut kasus korupsi politik.
"Mengenai
perkara korupsi politik ini, KPK jangan mengusut apa yang tidak menjadi
kewenangannya. Kalau mau, revisi dulu undang-undang yang ada. Karena
undang-undang tidak mengenal analogi dan semuanya harus dalam bentuk
tertulis," ujar Fadli yang juga menjadi narasumber dalam diskusi di
acara yang sama.
No comments:
Post a Comment